Pendeta, Ustad, SSB : Beginilah Cara Papua
Papua- Soal Tana Papua yang luas, sepertinya semua tahu. Soal sulitnya berkomunikasi antar satu daerah di Papua, semua rasanya sudah maklum. Soal potensi pertanian di Tana Papua, rasanya semua juga paham. Tapi soal bagaimana agar potensi dan kesulitan berkomunikasi dalam mewujudkan ketahanan pangan di Papua : MUNGKIN BELUM SEMUA TAHU …
“Propinsi Papua ini terdiri dari 28 Kabupaten dan 1 Kota. Dari rencana kami sebelum Covid menghadirkan 29 Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), kita baru mampu menghadirkan 8 BPP setelah teman teman Karantina dan BPTP terlibat,” aku Janny Loupatty selaku Kasi Penyuluhan di Dinas Pertanian dan Pangan Propinsi Papua saat kami berdiskusi.
Tapi pak Erick, lanjut pak Janni, kami sudah mengusulkan dalam APBD Perubahan tentang melibatkan pemuka agama di Papua yang akan berperan sebagai tenaga penyuluh .
Kenapa sampe keluar ide cerdas seperti itu ??
Begini pak, Papua terlalu luas, sudah begitu transportasi dan komunikasi tidak seperti tempat bapak di Sulawesi apalagi di Pulau Jawa. Tenaga penyuluh kami juga sangat sangat terbatas, sangat tida sebanding dengan luasnya wilayah kami. Tapi pemuka agama, apakah itu pendeta, ustad pasti ada biar sampai dipelosok. Kita berpikiran dan akan mendidik para pemuka agama ini bersama BPTP agar mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan sebagai penyuluh pertanian. Dengan demikian selain menyiarkan ajaran agama ditempatnya, mereka juga merangkap sebagai penyuluh pertanian. Ini ide awalnya..
Ya, ya, ya .. Tapi mereka kan dasarnya bukan orang pertanian yang sudah sejak dibangku sekolah menengah atas diberi pengetahuan tentang berbagai hal menyangkut pertanian. Pembekalan dalam waktu tertentu pasti tidak sama dengan pendalaman selama hitungan tahun. Bisa ada yang dilupa begitu praktek ??
Iya pak, jadi mereka kita bekali dengan SSB (single side band / radio komunikasi) untuk berkomunikasi dengan teman PPL terdekat atau langsung dengan BPTP. Karena di Papua masih sulit mengandalkan komunikasi handphone apalagi internet, jadi kami memilih komunikasi lewat SSB.
Saya membayangkan Oktober 1997 saat ditugaskan meliput kelaparan di Puncak Jaya. Ketika teman-teman tidak berpikiran ke Yahukimo, saya dan kamerawan meminta kepada Bupati Wenas agar diijinkan ke Yahukimo diantar heli TNI dan menjadi saksi langsung selama lima hari bagaimana keadaan saudara saudara kita disana.
September 2020, pak Janni dan jajaran Dinas Pertanian dan Pangan Papua telah bertekad untuk tidak melihat hambatan yang terbentang, namun mencari peluang agar persoalan ketahanan pangan ditempat mereka teratasi..*(Erick Tamalagi)
Komentar