Soal Perselisihan Bangunan Ilegal di Tompira, Mediasi Kasat PolPP Gagal, Warga Lapor Polisi

BERITA MORUT705 views

Morowali Utara – Perselisihan antara warga terkait bangunan yang menutup aliran sungai Lelea di Desa Tompira, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut), akhirnya berujung pada pelaporan ke pihak kepolisian setelah mediasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Morut dinilai gagal mencapai penyelesaian. Rabu, 16 April 2025, seorang warga bernama Emilia resmi melaporkan masalah tersebut ke Polres Morut.

Foto: Mediasi di Kantor Kecamatan Petasia Timur

Permasalahan bermula dari pembangunan yang dilakukan oleh seorang warga bernama Muheran di sisi sungai Lelea. Bangunan tersebut diketahui tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan berada di atas lahan yang tidak bersertifikat. Parahnya, bangunan ini telah melewati batas lahan dan masuk ke area milik Emilia—pemilik sah lahan bersertifikat dan IMB—serta mengganggu daerah aliran sungai (DAS) Lelea yang rawan meluap di musim penghujan.

Foto: BA kesepakatan mediasi

Melihat potensi bahaya dan pelanggaran ini, Emilia melaporkan kasus tersebut ke Pemda Morut. Sebagai tindak lanjut, pemerintah daerah melakukan peninjauan lapangan yang melibatkan pihak desa Tompira, pemerintah kecamatan Petasia Timur, dan Kasat Pol PP Morut. Peninjauan tersebut mengkonfirmasi bahwa bangunan milik Muheran melanggar batas lahan dan merusak aliran sungai.

Untuk mencari jalan tengah, Pemda Morut memfasilitasi pertemuan mediasi pada 14 Januari 2025 di Kantor Camat Petasia Timur. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh kedua belah pihak serta Kasat Pol PP Morut, telah disepakati bahwa Muheran akan membongkar bagian bangunan yang melanggar batas serta mengembalikan fungsi aliran sungai sebagaimana mestinya.

Foto: BA Kesepakatan mediasi

Namun demikian, hingga April 2025, kesepakatan tersebut tidak ditindaklanjuti. Sat Pol PP Morut dianggap tidak menunjukkan ketegasan dalam menegakkan aturan dan membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Ketidaktegasan ini menimbulkan ketegangan di lapangan, terlebih ketika Emilia mencoba membuat bronjong (struktur penahan tanah) di batas lahannya untuk mencegah longsor atau amblas yang bisa terjadi akibat aliran air yang tidak stabil.

Pembuatan bronjong oleh Emilia memicu perdebatan dan adu mulut dengan Muheran, yang merasa terganggu. Padahal, tindakan tersebut merupakan upaya antisipasi terhadap bahaya yang lebih besar serta dilakukan di atas lahan sah milik Emilia.

Merasa tidak mendapatkan perlindungan dan keadilan dari pihak Pemda, serta menilai pemerintah daerah mengabaikan warga yang memiliki dokumen legal dan mengikuti prosedur, Emilia memutuskan untuk mengambil langkah hukum.

“Hari ini saya sudah buat aduan ke Polres Morut. Karena apa yang disepakati dalam mediasi oleh Pemda tidak terpenuhi,” ujar Emilia kepada wartawan usai melapor ke Polres Morut.

Kasus ini menjadi sorotan karena memperlihatkan lemahnya penegakan hukum di tingkat daerah, terutama ketika pihak yang memiliki bukti legal seperti sertifikat tanah dan IMB justru tidak mendapat perlindungan memadai dari aparat penegak perda. Masyarakat kini menanti langkah konkret dari pihak kepolisian untuk menindaklanjuti laporan Emilia, serta berharap Pemda Morut bisa lebih tegas dalam menyikapi persoalan yang menyangkut keselamatan dan kepentingan publik, khususnya yang berhubungan dengan tata ruang dan kelestarian lingkungan seperti daerah aliran sungai.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Sat Pol PP Morut maupun dari Muheran terkait laporan polisi yang telah dibuat Emilia. Namun masyarakat sekitar berharap agar kasus ini segera diselesaikan secara adil dan transparan, agar tidak menimbulkan ketegangan sosial yang lebih luas.

Komentar