Selasa, 16 Februari 2021, Bupati Morowali Utara Moh. Asrar Abd Samad bersama Kepala Desa Lee dengan masyarakat meninjau lokasi yang menjadi sengketa antara masyarakat Desa Lee dengan PT. SPN. Bupati geram karena pihak PT.SPN tidak mengindahkan permintaan bupati melalui suratnya, sebelumnya, bupati telah mengirimkan surat kepada PT.SPN tertanggal 26 Oktober 2020, dengan nomor 180/0534/HKM/X/2020, perihal pemberitahuan. Pertama,Bahwa putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 174/K/TUN/2020 yang ditetapkan pada tanggal 20 Mei 2020 merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde) serta mengikat para pihak, dengan demikian wajib dipatuhi dan dilaksanakan.
Kedua, Bahwa berdasarkan hal sebagaimana tersebut pada angka 1 diatas, maka dalam rangka menjaga stabilitas pelaksanaan pemerintahan di desa serta keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, diharapkan kiranya pihak PT.SPN menghentikan aktivitas perkebunan di wilayah Desa Lee, Kasingoli dan Gontara yang dijadikan objek sengketa dalam perkara tersebut diatas sebagai bentuk kepatuhan atas putusa yang telah berkekuatanhukum tetap.
Kunjungan Bupati Morowali Utara Tersebut disertai dengan pemasangan baliho yang bertuliskan Putusan Kasasi Mahkamah Agung dan pemagaran oleh masyarakat Desa Lee termasuk penggugat, pada lokasi menuju akses aktivitas perkebunan PT.SPN.
Koordinator KPA Wilayah Sulteng Noval A Saputra mengatakan, “Bupati Morowali Utara, Moh. Asrar Abd. Samad menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sebagai pemimpin dan secara terang-terangan keberpihakannya terhadap masyarakat, khususnya masyarakat Desa Lee yang berjuang serta solid secara totalitas untuk memperjuangan hak atas tanah yang telah lama digarap secara turun temurun.
Jika PT.SPN bersikeras untuk tidak memberhentikan aktivitas perkebunannya di wilayah Desa Lee, maka dengan dasar apa aktivitas tersebut terus dilanjutkan, sedangkan SK HGU PT.SPN telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, artinya data yuridis pada saat penerbitan SK HGU PT.SPN cacat secara hukum dan tidak bisa dibuktikan secara empiris serta aktivitas PT.SPN adalah aktivitas yang ilegal.
Sebagai tergugat, ATR/BPN secara struktural dari tingkat Kementerian, Kantor Wilayah Sulawesi Tengah dan Kantor PertanahanMorowali Utara sama sekali tidak menunjukkan akan melaksanakan amarputusankasasiMahkamahAgung, ATR/BPN memperpanjang durasi dan menambah angka konflik agraria struktural agraria di Indonesia. ATR/BPN bebal dan tidak taat terhadap hukum, sebaiknya lembaga ini dibubarkan karena lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya.
Kalau situasi ini terus berlanjut, proyeksi kedepan akan terjadi bom waktu yakni konflik horizontal antar masyarakat Desa Lee yang berjuang mempertahankan hak atas tanahnya dengan masyarakat Desa Lee yang bekerja di PT.SPN yang jumlahnya tidak melebihi 20 orang,” ujar Noval. *(red)
Komentar