Sengkarut Lahan HGU PT. SPN di Mori Utara: Warga Tuntut Kepastian Hak dan Realisasi Janji Perusahaan

BERITA MORUT423 views

Morowali Utara — Konflik agraria yang melibatkan masyarakat di Kecamatan Mori Utara dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. SPN terus berlarut tanpa kejelasan. Sejak pengalihan pengelolaan dari PTPN XIV kepada PT. SPN pada tahun 2011, warga di beberapa desa, khususnya Mayumba, Peleru, dan Era, terus menyuarakan keresahan terkait penguasaan lahan dan janji-janji plasma yang tak kunjung terealisasi. Perjuangan warga desa Mayumba dan sejumlah desa lain, juga mendapatkan dukungan dari pemerintah kabupaten Morowali Utara saat ini.

Perkebunan sawit pertama kali ditanam di Desa Mayumba oleh PTPN XIV sejak tahun 1997. Namun, izin Hak Guna Usaha (HGU) baru diterbitkan pada 12 Juni 2009. Sejak tahun 2011, PT. SPN mulai mengelola dan mengeksploitasi lahan yang sebelumnya berada dalam kewenangan PTPN XIV berdasarkan sertifikat HGU. Di sinilah akar persoalan mulai muncul.

Salah satu persoalan mendasar adalah janji pembangunan kebun plasma kepada warga desa yang hingga kini belum terealisasi. Kepala Desa Mayumba, Yuyun Konduwes, mengungkapkan bahwa harapan masyarakat yang digantung selama lebih dari satu dekade telah menimbulkan ketidakpastian dan kerugian ekonomi.

“Lahan persawahan warga yang masuk dalam HGU PT. SPN ini masih aktif digunakan. Kasihan warga yang ingin mengurus sertifikat tidak bisa, padahal lahan itu mendukung ketahanan pangan desa,” ungkap Yuyun.

Sekitar 17 hektare lahan pertanian di Desa Mayumba masuk dalam peta HGU meski tidak ditanami oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan warga kehilangan akses untuk mendapatkan legalitas tanah melalui program sertifikasi, dan menghambat rencana perluasan permukiman. Padahal, Desa Mayumba merupakan ibu kota Kecamatan Mori Utara dengan luas wilayah sekitar 22 hektare yang terus berkembang.

Dokumen-dokumen yang mendukung klaim masyarakat pun cukup lengkap. Pada 28 Oktober 1999, rapat pengukuran areal plasma dilakukan bersama BPN dan para kepala desa, termasuk pengukuran di Desa Mayumba yang berlangsung 14–17 Desember 1999.

Selanjutnya, dalam berita acara tertanggal 31 Oktober 2012 antara masyarakat Desa Mayumba dan Tabarano dengan PTPN XIV Tomata, disepakati bahwa akan diberikan plasma 2 hektare per kepala keluarga untuk 125 KK. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh perwakilan PTPN XIV, Andi Arwan, dan menjadi bukti kuat tuntutan warga.

DPRD Kabupaten Morowali juga sempat mengintervensi, melalui surat bernomor 593.4/49/III/DPRD/2009 tertanggal 13 Maret 2009 kepada Kepala BPN untuk meninjau ulang pemberian HGU kepada PTPN XIV Tomata. Namun hingga kini, belum ada tindak lanjut konkret.

Bahkan Komnas HAM turut terlibat dalam penyelesaian sengketa ini. Dalam pertemuan pada 2 Juli 2013, disepakati bahwa terdapat lahan-lahan masyarakat yang berada dalam peta HGU, meskipun mereka memiliki bukti kepemilikan seperti sertifikat, SPPT, SKPT, dan bukti kelola aktif. Komnas HAM juga menyoroti ketidakjelasan pengelolaan dana KKRA senilai Rp42 miliar oleh KUD Wulanderi Tomata yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan petani plasma.

Surat dari BPN tanggal 2 November 2023 mengonfirmasi bahwa beberapa titik penanaman sawit oleh PT. SPN di Desa Mayumba telah melewati batas HGU. Surat ini merupakan tindak lanjut dari permintaan Kepala Desa Mayumba yang mengajukan permohonan pengukuran ulang batas HGU kepada Kantor Pertanahan Morowali Utara pada 1 November 2023.

Permasalahan serupa didesa lain. Di Desa Peleru, lahan kandang sapi seluas sekitar 250 hektare yang telah ada sebelum masuknya perusahaan, diminta oleh pihak perusahaan sejak 1999 untuk dijadikan kebun inti. Namun warga menolak hingga kini.

Selain itu, kebun desa seluas 6 hektare di Watumesono sudah ditanami oleh PT. SPN, menyebabkan desa kehilangan aset kebunnya. Tanah masyarakat seluas 80 hektare yang semula dijanjikan untuk tukar guling dengan bibit dan pembangunan jalan oleh perusahaan juga tidak ditepati.

Sementara itu di Desa Era, sekitar 140 hektare lahan pertanian aktif berada dalam area HGU, menghambat proses legalisasi tanah oleh warga.

Ketiga desa tersebut kini mendesak adanya kejelasan status lahan, pembebasan wilayah yang bukan hak perusahaan, serta realisasi janji-janji plasma dan tukar guling yang sudah berlarut-larut.

“Ini soal keadilan bagi masyarakat adat dan petani yang telah lama menggarap dan menjaga tanah mereka. Jika negara tidak hadir, maka konflik sosial bisa semakin membesar,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.

Masyarakat berharap pemerintah daerah, DPRD, dan instansi terkait segera mengambil langkah tegas terhadap PT. SPN, termasuk meninjau kembali SK HGU yang menjadi pangkal masalah. Mereka juga menanti adanya penyelesaian hukum yang berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kekuatan modal.

Komentar