Morowali Utara – Sekilas tentang Sungai Laa, yang menurut Gubernur Sulteng, Anwar Hafid, harus ditanggul sebagai salah satu solusi untuk mengatasi banjir tahunan di Morut.
Hal ini disampaikan Gubernur Anwar Hafid, saat meninjau lokasi banjir di Morut, Rabu, 9 April 2025.
Berikut ulasan sekilas tentang Sungai Laa dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan data yang dihimpun media ini dari tulisan Edward L. Poilinggomang tentang Kerajaan Mori, dan wawancara dengan tokoh Mori, Alwun Lasiwua.
Di jantung Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, mengalir sebuah sungai yang telah menjadi saksi sejarah panjang peradaban masyarakat setempat jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Sungai itu bernama Sungai Laa, sungai terpanjang dan terbesar di wilayah tersebut, dengan panjang mencapai 96,3 kilometer dan luas daerah pengaliran sungai (DPS) sekitar 2.875,63 km².
Dalam bahasa lokal, kata Laa memiliki arti sungai panjang atau me-laa. Nama ini bukan hanya simbol geografis, tetapi juga kultural, karena Sungai Laa merupakan jalur utama yang menghubungkan wilayah pegunungan di Mori Atas dengan wilayah pesisir di Mori Bawah, menjadikannya tulang punggung mobilitas, ekonomi, dan budaya masyarakat Mori sejak masa lampau.
Hulu Sungai Laa berada di kawasan Mori Atas, di mana sejumlah sungai besar seperti Yaentu, Kuse, Kadata, dan Walati bermuara ke sungai utama ini. Sungai Laa kemudian mengalir melewati berbagai desa yang berada di jalur bawah, termasuk Bungintinbe, Tompira, Bunta, Koromatantu, Onepute, Sampalowo, Moleono, Tiu, Tadaku, Togo, hingga Ulu Laa.
Sementara itu, untuk wilayah atas, Sungai Laa melewati desa-desa seperti Peonea, Lanumor, Pambarea, dan Tomata, yang merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat adat Mori Atas. Sungai ini bukan hanya sebagai sumber air, tetapi juga jalur transportasi utama yang dahulu dilayari dengan menggunakan sampan atau rakit, menghubungkan daerah pedalaman dengan pesisir.
Selain Sungai Laa, terdapat pula sungai besar lainnya di Morowali Utara, seperti Sungai Tambalako, yang memiliki panjang 83,7 km dan DPS seluas 1.045,62 km². Sungai ini mengalir dari dataran Mori Bawah dan juga berperan penting sebagai jalur penghubung antardaerah.
Berbagai sungai kecil lain yang masih bisa dilayari oleh sampan pun tersebar di wilayah ini, seperti Sungai Tiu, Sungai Lowo (Ngango Lowo), Sungai Puabu, dan Sungai Samura. Sementara itu, sungai-sungai kecil seperti Lambuka, Karangkuni, Korompoyo (Karampalia), Kamba, Palia, Yaentu, Bahombelu, Matandau, dan Bahomohoni juga memberikan kontribusi penting dalam kehidupan agraris dan perikanan lokal.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa pada tahun 1899, seorang misionaris sekaligus etnografer asal Belanda, Albert Christian Kruyt, membuat peta Sungai Laa. Peta ini kemudian menjadi rujukan penting dalam berbagai dokumentasi ilmiah dan administratif, dan masih digunakan hingga saat ini sebagai referensi resmi mengenai wilayah sungai di Morowali Utara.
Wilayah kerajaan Mori yang dilalui Sungai Laa memiliki iklim tropis dengan dua musim, yaitu kemarau (April–September) dan hujan (Oktober–Maret). Curah hujan tahunan di kawasan ini cukup tinggi, berkisar antara 2.500 mm hingga 3.000 mm, dengan suhu rata-rata harian sekitar 27,5°C. Kondisi iklim ini sangat mendukung keberlangsungan ekosistem sungai dan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Penduduk di wilayah ini bersifat majemuk dan multikultural, yang telah tinggal di kawasan Mori selama berabad-abad. Menurut klasifikasi Kruyt, masyarakat terbagi atas penduduk pribumi (inheemsche bevolking), yakni orang Mori asli dan suku-suku lain yang telah menetap sejak lama. Orang Mori sendiri dibagi atas Mori Atas dan Mori Bawah, yang masing-masing memiliki ciri khas budaya dan sistem sosial yang berbeda, meski terhubung secara geografis dan historis melalui Sungai Laa.
Simbol Peradaban dan Identitas Kultural
Bagi masyarakat Mori, Sungai Laa bukan hanya sekadar jalur air. Ia adalah simbol peradaban, sumber kehidupan, dan identitas kultural yang terus mengalir dari masa ke masa. Dalam konteks modern, sungai ini menjadi tantangan sekaligus peluang dalam pembangunan infrastruktur, pelestarian lingkungan, dan pengembangan pariwisata berbasis budaya.
Pemerintah Kabupaten Morowali Utara diharapkan terus menjaga dan memanfaatkan potensi Sungai Laa secara berkelanjutan, tidak hanya sebagai sumber daya alam, tetapi juga sebagai warisan budaya yang tak ternilai bagi generasi mendatang.
Komentar