MORUT- Desa Bunta adalah salah satu desa di kecamatan Petasia Timur kabupaten Morowali Utara (Morut).
Penduduk Bunta sejak dahulu di kenal dengan nama To-Wulanderi. Sebelum perang Wulanderi tahun 1907, mereka mendiami suatu wilayah di pegunungan bagian selatan Kerajaan Mori dengan nama Wulanderi, sehingga dalam sejarah Kerajaan Mori mereka di sebut sebagai To-Wulanderi, yang merupakan salah satu anak suku Mori.
Wilayah mereka ini berbatasan di bagian Utara dengan wilayah Lembo Manente, bagian selatan berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Selatan, di bagian Barat Berbatasan dengan Impo dan Molongkuni, sedangkan di bagian timur berbatasan dengan To-Molioa. (lwun 2012).
1. Perang Wulanderi 1907,
Sebelum Perang Wulanderi atau Perang Mori II yakni perang melawan Morsose Belanda tanggal 16-17 Agustus 1907, To-Wulanderi hidup aman dan damai disebuah wilayah di dataran tinggi yang di sebut Wulanderi, dan masih merupakan wilayah Pemerintahan Kerajaan Mori dengan Raja saat itu Bernama Mokole Marunduh Datu Ri Tana.
Ketika akan menghadapi serangan Belanda, Raja Marunduh memilih benteng Wulanderi sebagai benteng pertahanan menghadapi serangan tersebut, selain benteng lainnya yaitu benteng Paantobu.
Benteng Wulanderi di bangun tahun 1970, setelah Marunduh menjadi Raja Mori menggantikan ayahnya yang Bernama Tosaleko. Raja Marunduh memerintahkan Bonto Tumakaka untuk membantu To-Wulanderi membangun benteng, sebab Bonto Tumakaka menikah dengan salah satu Putri To-Wulanderi. Saat itu To-Wulanderi dipimpin oleh seorang dengan Gelar Wawa Inia yang Bernama Malatundu dan 2 (dua) orang dengan Gelar Tadulako yang Bernama Tadulako Ladadena dan Tadulako Limbampati.
Pada peristiwa perang Wulanderi lebih dari 100 orang gugur ketika bertempur melawan Morsose Belanda, termasuk Raja Marunduh, Wawa Inia Malatundu serta Tadulako Ladadena dan Tadulako Limbampati. Jenazah korban perang Wulanderi ini di makamkan atau di tombea pada sebuah lobang batu di suatu tempat yang Bernama Ndoe Ntobu.
Pada tahun 1911, kerangka jenazah Raja Marunduh dipindahkan ke Sampalowo setelah melalui proses upacara kematian yang disebut Woke.
2. Dari Wulanderi ke Koro Laemaka. Pasca kekalahan di Perang Wulanderi, Petewawo Inia (Pemimpin Kampung/Suku) To-Wulanderi dipimpin oleh Lalindo, anak dari Malatundu. Lalindo lalu memimpin To-Wulanderi mengungsi ke Koro Laemaka. Di tempat ini terdapat sebuah danau kecil dan sungai yang Bernama Koro Laemaka. To-Wulanderi yang bermukim di Tamungku dan Langkekea yang memisahkan diri dari Wulanderi, sebelum Perang Wulanderi juga ikut bersama-sama ke Koro Laemaka. Di tempat ini To-Wulanderi tinggal selama 3 (tiga) tahun dari tahun 1907-1910. Karna tempat ini sangat jauh masuk ke pedalaman dan sangat jauh dari kampung lainnya, selanjutnya mereka berpindah tempat ke Halumpu’u
3. Halumpu’u.
Di Halumpu’u kehidupan baru dimulai, daerah yang subur dan wilayah yang cukup luas ini, To-Wulanderi hidup tentram dan aman di bawa kepemimpinan Petewawo Inia Lalindo. Di Halumpu’u, pada tahun 1914, Belanda mendirikan sekolah yang merupakan sekolah Belanda di wialyah kerajaan Mori, selain sekolah Belanda lainnya yang berada di Tete Polo (Kasingoli). Sekolah Belanda ini selanjutnya di pimpin oleh seorang Kepala Sekolah Bernama Landora’u Dile. Di Halumpu’u dibangun jalan yang menghubungkan Halumpu’u dan Marompi (Panapa Wawopada) dan jalan yang menghubungkan Halumpu’u dan Lembo Manente, bahkan dibangun pula sebuah benteng pertahanan di sebuah puncak Gunung batu.
Pemukiman dan rumah-rumah penduduk di atur dan tertata rapi. Tapi kehidupan To-Wulanderi di Halumpu’u tidak berlansung lama. Pada tahun 1922 Belanda memerintahkan penduduk Halumpu’u untuk berpindah tempat mendekati wilayah pesisir kerajaan Mori. Mokole Ede kamesi yang saat itu menjadi Raja Mori menggantikan Mokole Marunduh, yang gugur saat perang wulanderi, menyerahkan wilayah dekat Tompira yang Bernama Koro Pudu sebagai tempat To-Wulanderi, termasuk menyerahkan Tambunga SONAE (hamparan Rumpun Sagu) sebagai bahan cadangan makanan.
4. Koro Pudu (Bunta)
Tahun 1922 To-Wulanderi mulai berpindah dari Halumpu’u ke daerah Tompira. Tompira saat itu belum merupakan sebuah kampung atau pemukiman warga, tapi hanya terdapat beberapa bangunan pasar tempat transaksi jual beli antar pedagang dari Cina, Arab, Portugis, Belanda, Bungku dan Mori.
Kepindahan To-Wulanderi ke Koro Pudu atas perintah Pemerintahan Hindia Belanda, dimaksudkan untuk tujuan membangun Jalan yang menghubungkan Kolonodale dan Tompira.
Selain itu juga sebagai hukuman atas keterlibatan To-Wulanderi pada beberapa peristiwa perang di wilayah kerajaan Mori yang mengakibatkan terbunuhnya sejumlah Militer Belanda. Koro Pudu merupakan sebuah tempat rawa dan hutan lebat yang banyak di tumbuhi pohon Angas (Anga-Mori) dan merupakan sarang nyamuk Malaria. Di Koro Pudu ini terdapat sebuah danau kecil yang merupakan bekas aliran sungai Laa yang dinamakan Laasampi. Dari Laasampi ini terdapat anak sungai yang tidak ada muaranya sehingga di sebut Koro Pudu atau sungai Buntu. Karena air sungai tidak mengalir maka tempat tersebut dalam bahasa Mori dinamakan Bunto. Dari kata Bunto inilah selanjutnya menjadi Bunta, nama desa Bunta yang ada saat ini.
Kedatangan To-Wulanderi di Koro Pudu berlangsung secara bertahap. Tahap pertama di prioritaskan bagi tenaga-tenaga kuat, dengan tugas membuka pemukiman baru, menebang pohon-pohon besar agar tempat tersebut menjadi terbuka untuk dapat ditempati sebagai daerah pemukiman. Tahap berikutnya adalah para kepala-kepala Keluarga dengan tugas membangun rumah hunian sebagai tempat tinggal. Rumah hunian tempat tinggal To-Wulanderi saat itu di tempati 3 (tiga) sampai 4 (empat) kepala keluarga.
Ketika rumah hunian sudah siap di tempati maka tahap selanjutnya adalah, rombongan para orang-orang tua, perempuan dan anak-anak serta hewan ternak peliharaan.
3 (tiga) bulan pasca perpindahan dari Halumpu’u ke Koro Pudu Bunta, banyak warga yang sakit dan meninggal. Penyakit ini terus menular ke warga yang lain sehingga oleh orang bunta disebut “Haki Lele” atau sakit menular. Padahal penyakit tersebut disebabkan oleh gigitan nyamuk yang menyebabkan Penyakit Malaria. Setiap hari 3 (tiga) sampai 4 (Empat) orang meninggal dunia.
Ratusan orang meninggal hanya dalam kurun waktu 6 (enam) bulan saja, sehingga timbul anggapan warga saat itu, dimana masa manusia akan habis mati satu persatu dalam bahasa Mori disebut “ke’upua”.
Selain kematian akibat penyakit malaria yang terus terjadi, warga To-Wulanderi juga di hadapkan dengan pekerjaan jalan yang menghubungkan Kolonodale dan Tompira. Jalan tersebut di bangun di atas rawa dan pinggiran gunung, dengan cara menyusun sejumlah kayu bulat di sepanjang jalur tersebut agar tidak terperosok masuk ke dalam lumpur, lalu di timbun dengan batu dan kerikil. Selang 8 (delapan) tahun kemudian, yakni pada tahun 1930, tidak jauh dari Koro pudu Bunta, mereka menemukan sebuah sungai dengan air yang jernih dan berwarna biru, yang sumber mata airnya berada di bawah sebuah bukit kecil.. Sungai ini pun dinamakan sungai Malawulu, asal kata dari Molowulu yang artinya warna Biru. Selanjutnya, atas kesepakatan bersama mereka berpindah tempat ke Malawulu hingga saat ini dan pemukiman baru ini tetap di namai Bunta dan koro pudu lasampi di namai Bunta Tua.
Pasca kepindahan ke Malawulu Sebagian warga To-Wulanderi mencari lokasi lain dan mendapati suatu tempat yang Bernama Koro Wulo, kemudian berkembang menjadi desa dengan nama Korololama.
5. Daftar Petewawo Inia, Kepala kampung dan Kepala Desa To- Wulanderi Bunta
1. Malatundu : Petewawo Inia Sampai thn 1907
2. Lalindo Malatundu : Petewawo Inia, Tahun 1907 – 1938
3. S. Malatundu : Kepala Kampung, 1938 – 1948
4. L. Tosumara : Kepala Kampung, 1948 – 1958
5. MS. Galela : Kepala Kampung, 1958 – 1977
6. S. Mandalele : Kepala kampung, 1977 – 1982
7. MS. Galela : Kepala kampung, 1982 – 1983
8. R. Laentu : Kepala Kampung, 1983 – 1985
9. MS. Galela : Kepala kampung, 1985 – 1991
10. YS. Tomboelu : Kepala Desa, 1991 – 1993
11. W. bate : Kepala Desa, 1993 – 1997
12. D. Malatundu : Kepala Desa, 1997 – 1998
13. T. Mandalele : Kepala Desa, 1998 – 2004
14. A. Pantilu : Kepala Desa, 2004 – 2018
15. Ch. Lolo, SP : Kepala Desa, 2018 – sampai sekarang
Demikian Sejarah singkat To-Wulanderi Bunta sejak awal dari wilayah Wulanderi sampai ke Malawulu, hingga saat ini menjadi salah satu Desa tujuan bagi para pekerja migran maupun dalam Negri.
Penulis: Alwun I. Lasiwua, SP,.MM dan Roli Laentu. Bunta, 7 Juli 2022.
Komentar