RDP Berlangsung Memanas. Aktivitasnya Disoroti, PT. MPR Singgung Pernah Beri Dana Cukup Besar Pada Masyarakat Adat Bahontula Tahun 2019.

BERITA MORUT704 views

MOROWALI UTARA- Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dampak penambangan yang berlangsung di DPRD Kabupaten Morowali Utara, Selasa (11/4/2023), berlangsung panas.

RDP itu menghadirkan perusahaan tambang PT. Mulia Pacific Resources (MPR), aliansi masyarakat pemerhati lingkungan, tokoh adat, pimpinan OPD terkait, Kapolsek Petasia, Danramil serta Camat Petasia.

Pihak PT. MPR diwakili Ratnawati Iriani (Manager PT. COR Tbk), Ajib Wangko Santoso (KTT PT. MPR) dan Nico Herman Liku (Humas PT. MPR).

Suasana panas itu sudah terasa sejak rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Morut Muhammad Safri dimulai.

Semua pembicara dari pihak aliansi masyarakat menyoroti penambangan yang dilakukan PT. MPR di kawasan Gunung Tondu yang mengakibatkan banjir lumpur tanah merah di Kelurahan Bahontula dan Kelurahan Bahoue, beberapa waktu lalu.

Kondisi semakin panas ketika Nico Herman dari PT. MPR menyinggung soal bantuan dana yang cukup besar dari pihak PT. MPR kepada Masyarakat Adat Kelurahan Bahontula.

Ia bahkan membacakan secara lengkap berita acara hasil kesepakatan antara PT. MPR dengan Masyarakat Adat Kelurahan Bahontula tertanggal 12 Maret 2019.

Dalam kesepakatan tersebut antara lain disebutkan pihak PT. MPR memberikan Dana Kesejahteraan Masyarakat Adat Kelurahan Bahontula sebesar Rp 420 juta.

Dari jumlah itu, PT. MPR membayar uang muka sebesar Rp 125 juta. Sisanya sebesar Rp 295 juta akan dibayarkan secara bertahap.

Selanjutnya setelah pembayaran Rp 295 juta dilunasi, akan diberikan lagi Dana Kesejahteraan Masyarakat Adat Kelurahan Bahontula sebesar Rp 500/MT per kapal (sesuai tonnage kapal) tanpa melihat dari mana asal ore tersebut.

Selanjutnya, pada poin keempat kesepakatan tersebut disebutkan “Masyarakat Adat Kelurahan Bahontula memberikan akses dan tidak akan menghalangi kegiatan operasi penambangan perusahaan (PT. MPR) sesuai dengan izin yang dimiliki oleh perusahaan”.

Berita acara hasil kesepakatan tersebut ditandatangani pihak perusahaan masing-masing Andi Jaya (Direktur) dan Denny Maulasa (Direktur Operasional). Sedangkan dari pihak Masyarakat Adat Kelurahan Bahontula ditandatangani oleh Raymon Monsangi (Ketua) dan Th. Lino (Sekretaris). Ikut bertanda.tangan (Mengetahui) Defridas Hi. Sabolla, SH (Camat Petasia) dan Alkap Arlandi, SE (Lurah Bahontula).

Kesepakatan tokoh adat ini tampaknya membuat pihak PT. MPR tetap percaya diri untuk terus melakukan aktivitas penambangan di lokasi yang diprotes masyarakat Bahontula selama ini.

Setelah mendengar pembacaan kesepakatan tanggal 12 Maret 2019 tersebut, Wakil Ketua DPRD Morut Muhammad Safri langsung bersuara keras. Ia menyayangkan adanya kesepakatan di luar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

“Dalam kesepakatan rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Morut tentang Penambangan PT. MPR di wilayah Kelurahan Bahontula tanggal 22 Januari 2019 dengan tegas disebutkan pada poin 1 yakni menghentikan aktivitas kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT. MPR di wilayah Kelurahan Bahontula,” tegas Safri.

“Mohon maaf pak Raymon, kami di DPRD sudah berusaha agar kegiatan penambangan yang berdampak dan merugikan masyarakat banyak harus dihentikan, tetapi kenapa ada kesepakatan lain tanpa sepengetahuan kami,” tambah Ketua DPC PKB Morut tersebut.

Safri bahkan sempat memukul meja karena sangat kesal dengan kegiatan penambangan yang berakibat menyusahkan masyarakat.

Ketua Komisi I DPRD Morut Melky Tangkidi yang duduk disamping Safri menambahkan ketika masyarakat Bahontula melakukan aksi protes besar-besaran dan menuntut aktivitas penambangan PT. MPR di kawasan Gunung Tondu ditutup, DPRD Morut ditekan masyarakat.

“Pada tanggal 22 Januari 2019 saya termasuk anggota DPRD yang menerima rombongan masyarakat Bahontula. Tekanan masyarakat cukup keras sehingga lahirlah kesepakatan untuk menghentikan aktivitas kegiatan penambangan PT. MPR di kawasan Gunung Tondu,” jelasnya.

Dalam RDP yang berlangsung 11 April 2023, perdebatan cukup panjang atas penambangan PT. MPR yang dinilai menjadi sumber masalah banjir lumpur tanah merah setiap hujan deras terjadi.

“Tolong berempati, tolong gunakan hati nurani, kasihan saudara-saudara kita di Bahontula dan Bahoue. Saya berharap pihak PT. MPR bisa merasakan penderitaan masyarakat kita yang terkena dampak negatif penambangan,” kata Safri.

Diakhir rapat yang berlangsung hingga sore hari, akhirnya diambil kesepakatan sbb:
1. Menyepakati dihentikan aktivitas penambangan PT. MPR yang membahayakan dan mengancam pemukiman masyarakat kota Kolonodale.
2. Pihak perusahaan wajib melakukan reklamasi/penanaman kembali di lokasi yang telah berdampak pada kerusakan lingkungan, pembuatan cek-dam tanggul penutup yang pelaksanaannya diawasi oleh DPRD dan instansi pemerintah daerah bersama masyarakat.
3. Pihak perusahaan wajib melakukan perlindungan terhadap sumber mata air.

Kesepakatan ini ditandatangani Syarifudin, ST, MT, (Kadis Lingkungan Pemda Morut), Buharman Lambuli (Kasat Pol PP), Delfia Parenta (Kepala Pelaksana BPBD), Raymon Monsangi (tokoh masyarakat), Novrianto Najamuddin (Camat Petasia).

Selanjutnya, Ratnasari Iriani (Manager PT. COR Tbk), Ajib Wangko Santoso (KTT PT. MPR), Faisal Dg Siame (Aliansi Masyarakat Kolonodale), Arman Marunduh (DPC Pospera), Moh. Yasir (Ketua Anak Alam Morut) dan Aries Widjajanto, SH, S.Hut (KPH Morut).

Sedangkan dari pihak DPRD Morut ditandatangani oleh Muhammad Safri (Wakil Ketua DPRD Morut), Melky Tangkidi (Ketua Komisi I), Ikhtiarsyah (Ketua Komisi II), Usman Ukas (anggota Komisi III) dan Asral Lawahe (anggota Komisi III). (Ale/Ryo)

Komentar