Masyarakat Desa Bunta Beri Peringatan Keras kepada Hamid: “Jika Tak Beretika, Angkat Kaki dari Tanah Mori”

MORUT – Angin kisruh kembali berhembus dari Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut). Sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh adat angkat bicara lantang, menyampaikan peringatan keras kepada Saudara Hamid, salah satu warga yang selama ini vokal menyuarakan persoalan kasus lahan Bunta.

Selasa, 3 Juni 2025, menjadi saksi bisu dari seruan yang menggetarkan dinding-dinding rumah. Pernyataan sikap dibentangkan melalui spanduk, ditulis dengan kata-kata tajam namun sarat makna, seolah mewakili denyut nadi masyarakat yang jengah, hadir sejumlah tokoh muda seperti Seprianus Nggaluku, Yusri Kayoa menyampaikan sejumlah point diantaranya :

• Kami dari lembaga adat desa Bunta, ormas Taruna Wita Mori dan masyarakat desa mengingatkan kepada saudara Hamid untuk menghentikan propaganda, yang memecah persatuan dan kesatuan masyarakat.

• Saudara Hamid ditegaskan sekali lagi untuk tetap hidup sebagai masyarakat, yang beradab, beretika, saling menghargai antar pemerintah lembaga adat dan masyarakat. Jika tidak, segera angkat kaki dari tanah Mori.

• Kami sampaikan kepada saudara Hamid bahwa Masalah yang dilaporkan, ke Polres Morut LP/B/80/IV/SPKT/Polres Morut/tanggal 2 April 2022. Sudah dalam proses sesuai tahapan Polres Morut. Anda tidak usah melakukan gerakan-gerakan berlebihan yang meresahkan masyarakat.

Pernyataan tersebut merupakan respons atas aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Hamid dan rekan-rekannya pada tanggal 2 Juni 2025. Aksi yang menyulut bara di antara bara, mengungkit kembali api lama yang belum padam sejak tahun 2022.

Akar persoalan bermula dari laporan seorang warga, Ni Made Sami, yang mengaku telah dirugikan atas penjualan lahan seluas tiga hektare yang disebut-sebut melibatkan oknum Kepala Desa. Tak sekedar tanah, aroma uang pun menguak dari balik sengketa ini. Dugaan adanya ganti rugi lahan senilai 1,8 miliar rupiah kini menjadi perbincangan. Siapa yang menikmati manisnya uang itu? Belum jelas. Namun pihak kepolisian tengah menelusuri alurnya, membuka satu demi satu simpul misteri yang mengikat.

Persoalan lahan di Bunta tampaknya kian hari kian menjelma seperti ladang yang bukan hanya ditanami hasil ladang, tapi juga soal investasi , juga konflik dan saling curiga. Dalam bisik pepatah tua:

“Ibarat ladang sengketa, banyak tangan berebut kuasa.”

Pepatah itu seperti cermin yang tak berdebu, menggambarkan dengan terang persoalan di Bunta. Masalah sesungguhnya bukan semata tentang tanah, melainkan tentang rasa keadilan dan luka akibat ketimpangan. Ketika “bagi-bagi” tak merata, suara kecewa pun tak bisa dibungkam, dan saling tuding menjadi bahasa sehari-hari.

Apakah tanah Bunta akan kembali damai, atau terus menjadi medan tarik-menarik kepentingan?

Hanya waktu, dan kearifan para pemangku adat serta penegak hukum, yang akan menjawabnya.

Komentar