Dikepung Perusahaan Tambang Tingkat Kemiskinan di Morut Tinggi. Apa Kerja Bupati?

MORUT- Tingkat Kemiskinan di kabupaten Morowali Utara 12,97 persen lebih tinggi dari rata-rata kabupaten lain di Sulteng yang hanya sebesar 12,33 persen.

Hal itu diungkapkan Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting menyebut, dari kajian mengenai dampak lingkungan hidup dan dampak sosial yang dilakukan di Halmahera, Morowali, dan Morowali Utara, hasilnya sama-sama menunjukkan temuan yang buruk.

“Berdasarkan kajian ekonomi, industri nikel ini tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat di Morowali, Morowali Utara, maupun juga di Halmahera, khususnya di Weda Tengah,” kata Pius Ginting dalam diskusi yang digelar Forest Watch Indonesia (FWI), beberapa waktu lalu.

Dikutip dari Jawapos.com Radarsulteng.id group, AEER mencatat di Morowali misalnya, dari kegiatan ekonomi industri nikel, hanya 4,35 persen dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tinggal atau dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Morowali. “Sebanyak 95 persen itu keluar,” kata Pius.

Kondisi serupa juga ditemukan di Morowali Utara. Hanya 15 persen dari nilai PDRB yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Sedangkan sebanyak 84 persen lainnya keluar. “Sehingga ini yang membuat angka kemiskinan di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata angka kemiskinan kabupaten di Sulawesi Tengah,” lanjut Pius.

Di sisi lain, masyarakat di tiga wilayah kajian AEER harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Sungai yang tidak sehat memaksa mereka untuk membeli air bersih. Selain itu, angka ISPA juga tergolong tinggi sehingga menambah biaya kesehatan. Di Kecamatan Bahodopi misalnya, adanya kegiatan industri termasuk penggunaan PLTU captive yang menghasilkan PM 2.5 membuat angka ISPA di sana naik enam kali lipat.

“Jadi, penyakitnya sudah bertambah, biaya kesehatannya bertambah, tapi manfaat nikelnya lebih banyak keluar ketimbang tinggal di masing-masing sumber nikel ini,” imbuh Pius.

Mendapati temuan tersebut, Pius meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dan sosial masyarakat jika benar-benar ingin menjadi pemain nikel dunia dan pemasok baterai EV global. Pasalnya, perusahaan-perusahaan atau investor Eropa sangat concern pada masalah ini. Mereka cenderung memperhatikan stakeholder, tidak seperti, misalnya, investor atau perusahaan Inggris yang umumnya hanya mementingkan shareholder atau pemegang saham.

“Jadi, harus ada perbaikan lingkungan, perbaikan sosial, agar produk nickel battery yang diharapkan meluas pasarnya, bukan hanya untuk ke Tiongkok, tetapi juga ke Jerman dan Eropa itu bisa terwujud. Dengan perbaikan-perbaikan standar ini, termasuk dengan tidak melakukan penambangan di wilayah-wilayah yang ditolak oleh warga,” harap Pius.

Dikutip dari release Media Center Delis-Djira. Bupati Morowali Utara Delis Julkarson Hehi menerima pimpinan tiga perusahaan raksasa tambang nikel di daerah ini untuk berdialog terkait upaya intensifikasi pemungutan pajak-pajak daerah dan pajak pusat dari sektor tambang yang selama ini dinilai masih jauh dari potensinya.

“Kami Pemda akan pasang badan untuk keamanan dan kenyamanan investor di daerah ini, tapi investor tolong kami juga untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pajak dan retribusi daerah perusahaan demi mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang lebih baik,” kata Bupati Delis J. Hehi dalam pertemuan yang berlangsung ramah tamah itu.

Hadir dalam pertemuan itu Hendro Suryono dari PT. Startdust Estate Investmen (SEI), Alwansyah dari PT.Bukit Makmur Istindo Nikeltama (Bumanik) dan Andi Dadan dari PT.Gunbuster Nikel Industry (GNI). Ketiga perusahaan nikel ini merupakan raksana penambangan (mining) dan smelter nikel di Morowali Utara.

Hadir pula sejumlah pejabat dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Poso dan dua pejabat dai Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Morut untuk mendampingi bupati.

Dikepung perusahaan tambang raksasa yang masuk di daerah, namun faktanya tingkat kemiskinan di Morowali Utara tinggi.

Tingginya tingkat kemiskinan di Morut salah satunya karna faktor penyebabnya adalah upah minimum yang tidak memadai. Surat keputusan Gubernur Sulteng menetapkan UMK Morowali Utara tahun 2024 Rp 3.685.874 atau naik Rp. 326,650 dari tahun sebelumnya, Rp 3.359.224. Keputusan ini tidak ditindak lanjuti secara berjenjang. Salah satu perusahaan tambang di Morut yaitu PT. Enerstell tidak mengikuti ketentuan tersebut. Ini baru salah satu contoh.

Kepala Desa Peboa Julison Pouraga bahkan telah koordinasikan pekerja lokal yang dibayar dibawah UMK 2024. UMK Morut 2024 sudah 3,6 juta. Tapi di PT. Enerstell 3 juta.

“Betul ini…Bahkan uang makan karyawan lokal dan non lokal beda pak. Lebih tinggi non lokal. Saya sudah pernah keluhkan juga ke perusahaan,, tapi katanya itu sudah kebijakan dan waktu sebelum karyawan masuk di wawancara kalau siap di persilahkan kerja,”ujar kades Peboa (13/6)

Humas PT. Enerstell Andi Ahi yang dikonfirmasi media ini belum membaca pesan whatsapp redaksi.

Faktor lain adalah Dana CSR di Morut yang di nilai tidak tepat sasaran bahkan cenderung diduga di manfaatkan oleh oknum tertentu.

Sejauh ini tidak ada langkah kongkrit kebijakan Pemda Morut, yang menunjukan keberpihakan pada masyarakat. Program BKK yang 300 juta harusnya sebagai stimulan saja, justru di tingkatkan tanpa evaluasi yang ketat terkait sejumlah persoalan BKK yang terjadi.

Komentar